Pojok Bergalau

Hanya sebuah halaman tempat menumpahkan pikiran dan juga hasrat bergalau ria

Put your Google adsense code here.

Jumat, 20 Januari 2012

Gadis dan Pangeran Bersayap

Gadis dan Pengeran Bersayap
Pasar malam. Pohon pisang. Gula-gula. Rasi. Rajah. Polkadot
-
Ramai, kawanan manusia bersayap berkumpul malam ini, di pedalaman hutan dan perbukitan, semua keluarga besar mengelilingiku. Beberapa dari mereka menatapku sinis.
“Kamu harus membawa seorang anak kecil untuk kami santap. Inilah ujian bagimu agar tidak dicap sebagai Orang-Bati yang gagal,” tetua kami, seorang sepuh di antara kawanan Orang-Bati, memberiku sebuah ujian.
Namaku Wina, Orang-Bati yang beranjak remaja, tengah diberi ujian untuk membawa anak kecil sebagai santapan. Jika aku lulus, maka aku akan diakui sebagai Orang-Bati. Kenapa? Karena akulah satu-satunya Orang-Bati yang menentang tradisi menyantap anak kecil. Aku cinta anak-anak. Mereka lucu, polos tanpa dosa. Mengapa harus disantap?
“Tapi aku-
“Laksanakan, Wina!” bentakan sepihak. Oke.
Setelah selesai diceramahi, aku langsung bergegas menuju pedesaan yang tak jauh dari kaki bukit. Kukepakkan sayapku untuk menghemat waktu. Aku tahu betul tempat yang tepat untuk berburu anak kecil. Ya! pasar malam!
Hari ini, diadakan pasar malam tepat di kaki bukit. Sudah tentu pedesaan akan sangat ramai dengan manusia-manusia—tentu saja anak kecil juga. Secepatnya kuubah rupa burukku menjadi manusia. Berparas cantik, dengan rambut hitam panjang bergelombang. Mata hitam dan kulit putih cerah—persis gadis remaja Indonesia pada umumnya. Mulus saja aku membaur dalam keramaian—tak ada yang menyadari diriku adalah Orang-Bati.
“Sebenarnya aku enggan. Tapi… ayo, Wina! Kau pasti bisa!” ucapku ketika melihat banyaknya bocah-bocah yang lalu-lalang di sekitarku. Mereka tertawa ceria sembari memakan gula-gula.
Dengan langkah pasti, dan senyum semenawan mungkin, kujalankan rencanaku. Pertama, Akan kusapa dulu anak-anak itu. Aha! Kubawa saja anak lelaki yang bertopi polkadot dan berwajah bulat itu.
“Hai, Dik,” ucapku penuh lembut, berusaha tampil sealami mungkin sebagai manusia.
“Iya, Kak?”
“Adik kakak mau kenalan sama kamu. Katanya ingin bermain denganmu, tapi dia malu,” ah, cara klasik, tapi kuyakin pasti berhasil. “Yuk?”
“Ehm… boleh. Mana dia?” berhasil!
“Yuk, ikut. Dia menunggu di sana,” tunjukku pada sebuah semak. Sembari menggenggam tangan mungilnya, kutarik dia ke arah yang tadi kutunjuk. Setelah sepi, aku akan mengeluarkan sayapku dan terbang membawanya.
“Hei!”
Apa-apaan ini? Ada pemuda yang menghalangiku! Langkahku terhenti karena ia mencegatku. Mengganggu saja!
“Mau kau bawa kemana anak kecil itu?” tanyanya. Menyebalkan. Kenapa aku harus tersendat hanya gara-gara pemuda… yah, tampan ini. Benar. Dia tampan. Matanya hitam lembut, rambutnya pendek, dengan poni panjang—namun rapi. Kulitnya putih dan tubuhnya tinggi.
“Aku hanya ingin memperkenalkan dia dengan adikku,” bohongku. Mana mungkin aku punya adik. Minggir! Kau menghambat tugasku saja!
“Kalau begitu, kenapa bukan adikmu saja yang kau bawa kemari?” tambahnya membuatku semakin tidak sabaran. Cuek, aku menarik targetku ke semak-semak yang terdapat dua batang pohon pisang.
“Tunggu!” ia mengejarku. Apa maunya dia?
“Kumohon, lepaskan anak itu!”
“Apa maumu sebenarnya?!” jengkelku. Aku berbalik dan berteriak padanya.
“Kubilang lepaskan. Tidak mungkin ada anak kecil yang menunggu di dalam semak malam-malam begini! Berikan anak itu padaku!”
“Jangan seenaknya, ya!”
Pemuda itu mendekatiku dan mencengkram lenganku. Ia paksa melepaskan tautan jemariku dengan si adik kecil, lalu membopongnya kabur—kembali ke keramaian pasar malam.
“Hei!” kukejar dia. Larinya cepat sekali, aku bahkan tak bisa menandinginya. Sempat aku berniat untuk terbang, tapi… tak mungkin. Bisa-bisa aku dikejar-kejar para manusia. Kuputuskan kembali ke tengah pasar malam, menyerah mencari pemuda gesit itu.
“Oke!” teriakku. “Aku akan cari anak-anak lain!” kesal. Dengan cepat aku berbalik. Kali ini aku harus mengubah strategiku. Tangkap. Culik. Kabur, dan santap!
“Dapat!” kutangkap sembarang anak yang lewat di depanku.  Seorang anak perempuan berkuncir dua. Kali ini, aku dengan cepat memacu langkahku, berlari memasuki semak-semak.
“Penculik! Anakku diculik!” suara ibu anak itu membahana. Tak kupedulikan teriakannya. Aku tetap berlari sekencang mungkin, mencari tempat tergelap dalam semak untuk mengeluarkan sayap. Mereka berbondong-bondong mengejarku. Pasar malam yang ceria berubah menjadi gaduh. Rencanaku semula untuk menculik anak kecil diam-diam menjadi berantakan—siapa lagi kalau bukan karena si tampan yang sok baik itu.
“Tangkap gadis itu!”
“Dia penculik!”
Huh. Manusia sudah tentu kalah cepat dariku yang Orang-Bati ini. “Hari ini akan kuperlihatkan pada seluruh anggota keluarga kalau aku-kyaaa!”
Jerat babi! Kakiku malah terjerat oleh perangkap yang selalu dipasang pemburu untuk menjerat babi hutan. Siaaal! Padahal tinggal sedikit lagi!
“Anakku!” ibu sang anak cepat-cepat berlari ke arahku, menarik anaknya turun dari pelukanku.
“Rasakan! Ayo kita bawa gadis ini dan adili dia!” seru salah satu manusia. Orang-Bati macam apa aku? Hidupku berakhir di tangan manusia hanya karena terjerat perangkap babi hutan. Sejarah hidupku akan dikenang dengan teramat memalukan.
“Maaf,” suara itu… aku familiar!
“Dia itu saudaraku. Dia mengalami gangguan jiwa sesaat setelah adik bungsu kami meninggal—karena itu, dia selalu berusaha menculik anak kecil. Aku yakin dia teringat akan adik bungsu kami.”
Dia bohong! Saudara? Aku baru saja bertemu denganmu beberapa menit yang lalu, Bodoh!
“Maaf sudah membuat kegaduhan. Biar saya yang mengurusnya. Anda sekalian kembalilah ke dalam keceriaan pasar malam. Abaikan saja saya dan gadis itu.”
Menggerutu, para manusia itu bubar—eh, tunggu! Masih ada satu di sini!
“Nah, tutup matamu dan tenanglah. Aku akan menurunkanmu.”
“Apa pedulimu?” balasku ketus.
“Mau turun, atau selamanya mati kurus kering di sana?”
“O-oke!” sigapku. Tidak punya pilihan, akhirnya kuturuti dia. Kututup mataku, menunggunya melepaskanku dari perangkap yang menjerat kakiku. Kurasakan ia melepaskan jeratan di kakiku. Eh, tunggu. Aku tergantung tinggi sekali, ‘kan? Dengan apa ia mencapai kakiku?  
“Aduuuh!” ringisku ketika bokongku beradu dengan rerumputan—ia biarkan aku terjun bebas!
“Nah, kau sudah bebas, ‘kan? Ayo ikut aku.”
Hah? Sombong sekali. Sudah menjelek-jelekkanku—dituduh sakit jiwa, sekarang menyuruhku untuk ikut dengannya!
“Aku tidak mau!” kubuang muka.
“Ayolah,” senyumnya, “malam ini indah sekali. Lihat, bintang-bintang bersinar sangat jelas. Sayang kalau tidak kita nikmati.”
Seperti terbius senyumnya, aku menuruti permintaannya. Ia membawaku ke tepi sungai, tepat di kaki bukit—cukup jauh dari desa. Lima belas menit kami berjalan menyusuri semak untuk mencapai sungai beraliran cukup deras.
“Lihat,” katanya setelah menyuruhku duduk di atas batu besar. Telunjuknya mengarah pada langit penuh bintang. “rasi bintang Scorpio terlihat jelas sekali. Coba perhatikan, bentuknya persis kalajengking, ‘kan?”
Tidak ada jawaban. Aku malah asyik memperhatikan wajahnya yang tertimpa cahaya rembulan. Tampan dan… memesona.
“Ngomong-ngomong, aku belum memperkenalkan diri, ya?” ia menatapku dengan bola mata hitamnya. “Namaku Teo. Salam kenal.”
“Wina,” balasku terpana. Teo manusia yang ramah.
 Ia mengambil napas. “Nah, Wina, apa tujuanmu menculik anak kecil tadi?”
Aku terkesiap—tak tahu harus menjawab apa. Untuk memakannya? Jangan. Apa mengikuti skenarionya saja? Aku sakit jiwa karena adikku meninggal, lalu menculik anak kecil karena teringat kenangan? Bodoh.
“Katakan saja. Kalau kau pendam terus, lama-lama akan jadi racun hati,” imbaunya lagi. Ah… senyum Teo memang sungguh menawan.
“Aku… sebenarnya…,” gugup. Kucoba menenangkan diri.
“Teriakkan saja bebanmu. Kau pasti lega.”
Mengikuti saran Teo. Menghirup napas dalam, dan membuangnya pelan.Yak!
“Aku tidak tahan beginiii! Aku tidak suka menyantap anak kecil! Aku lebih suka daging sapi mentah! Aku muaaak!” teriakku pada langit. Hati nuraniku benar-benar menentang tradisi menyantap anak kecil. Aku benar-benar…. Orang-Bati yang gagal….
“Kau…,” Tio menatapku. Aku tahu. Dia pasti ketakutan sekarang. Ia tahu aku adalah Orang-Bati, manusia bersayap yang gemar menyantap anak-anak. 
“Wina!!” suara menggelegar terdengar dari atas bukit. Aku pucat seketika melihat tetuaku turun bersama yang lain. Ekspresi mereka menunjukkan kemarahan.
“Kami sudah lama menunggumu membawa anak kecil untuk kami, tapi, apa yang kau perbuat?! Kau malah bermesraan dengan laki-laki di sini!” amuk tetua padaku. “Ditambah lagi, kau menentang aturan memakan anak-anak!”
“Kau akan kami hukum rajah, dan diasingkan dari kumpulan Orang-Bati, Wina!”
“Orang-Bati yang menentang aturan tidak dapat diampuni!”
Sayap mereka melebar. Dengan mata bersinar semerah darah, dan aura membunuh yang sungguh kuat, mereka berhasrat menangkapku.
“Tidaaak!” pekikku. Aku terbang ke angkasa, berusaha menghindari mereka yang mengejar.
“Aku sudah tidak mau lagi menyantap manusia! Kumohon lepaskan aku!” bantahku. Tanpa mendengarkan keluhanku, salah satu dari mereka melempar tombak panjang padaku.
“Wina!” teriakan Teo terdengar olehku. Sayapku terkoyak oleh bilah tajam tombak. Darah mengalir keluar dari lukanya. Satu tombak lagi dilemparkan dan mengenai sayapku—lagi. akhirnya tubuhku oleng dan siap menghantam tanah.
“Wina! Bertahanlah!” lagi-lagi suara Teo. Pandanganku mengabur, semakin lama semakin gelap. Pemandangan terakhir yang kulihat, adalah Teo berlari panik dengan raut cemas. Sesaat, kulihat ia mengeluarkan sayap besar dari punggungnya.
Tunggu… Teo mengeluarkan sayap?
“Wina….”
“Wina, bangun!”
Samar-samar, kulihat sosok yang amat kukenal. Mataku perlahan mengerjap, mencoba menetralkan pandangan. Ketika pengelihatanku pulih, kulihat Teo ada di hadapanku, menungguiku sampai siuman.
“Teo…?” gumamku pelan. Mataku membesar ketika melihat sayap hitam besar mengembang di balik badannya. Terkejut, aku bangkit dengan cepat.
“Te-Teo… sayap apa itu?!” tunjukku tak percaya. Teo berdiri. Tanpa suara.
“Kau juga… Orang-Bati?” tanyaku. Teo hanya menutup matanya. Wajahnya penuh luka. “Lalu, bagaimana caramu menghadapi mereka?”
“Dengan gelombang ultrasonik.”
“Apa?”
“Wina… bagaimana kalau kau ikut denganku saja? Kita bertualang, mencari tempat yang cocok dengan kita, di mana kita tidak akan dipaksa melukai manusia. Kita akan tinggal berdua.”
“Teo… tapi… kau mau bertualang bersamaku? Sementara aku adalah Orang-Bati yang paling gagal,” kuubah wujudku ke bentuk asli. Wujud Orang-Bati yang memiliki perut bundar dan wajah bulat—sangat berbeda dengan rupa manusiaku yang cantik.
“Tidak masalah,” jawabnya ringan. Ia juga turut mengubah wujudnya. Sayap hitamnya merentang, matanya membesar. Sosok ini… kelelawar raksasa ini… Ahool!
“Teo, kau… adalah Ahool?”
“Tepatnya pangeran dari Kerajaan Ahool, kelelawar raksasa yang tinggal di Gunung Salak. Aku kabur dari kerajaan karena berprinsip sama denganmu—tidak mau melukai manusia. Aku langsung menghadangmu untuk menculik anak kecil itu karena aura gaibmu hampir sama denganku.”
Lama kutatap dia.  Ternyata aku tertarik dengan Pangeran Ahool.
“Ada masalah dengan perbedaan kita?” aku dan dia sama-sama mengubah wujud kami kembali menjadi manusia—namun masih menyisakan sepasang sayap di punggung kami.
Dengan senyum ceria, aku menggeleng. “Tidak. Mari bertualang!”
Kugandeng tangannya. Kami pun terbang bersama, mencari tempat di mana kami bisa hidup bersama.
Tamat
---
Cerpen ini hanyalah sebuah kisah untuk perlombaan fiksi-fantasi yang diselenggarakan oleh 9lightsproduction. Untuk melihat link perlombaan, silahkan lihat di: http://9lightsproduction.multiply.com/journal/item/12/Lomba_Fiksi_Fantasi_2012


Label: ,

2 Comments: